Selasa, 31 Mei 2011

**PROTES MALAIKAT**

Dua kali Malaikat pernah “memprotes” Tuhan. Pertama, ketika Allah menyampaikan maksud-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Malaikat merasa dirinya lebih wajar dari pada manusia, tetapi pilihan Tuhan dibuktikan kebenaranya melalui ujian lisan. Ternyata, Malaikat gagal dan Manusia lulus, bahkan berhasil mengajar Malaikat (lihat QS 2:30).

Setelah sekian lama Manusia mengelola bumi, ”protes” kedua muncul,”Terlalu banyak dosa Manusia dan lingkungannya pun di rusaknya,” keluh Malaikat. Mereka kini merasa lebih bersih dan mampu dari pada Manusia yang menjadi khalifah di bumi. Untuk kali ini, ujian dilakukan lagi, tetapi dalam bentuk praktik. Para ”pemrotes” dipersilahkan memilih wakil mereka untuk menggantikan Manusia, Dan terpilihlah dua ”orang” Malaikat, yaitu Harut dan Marut.

Di bumi mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan bersedia ”melayani” Sang Malaikat dengan syarat keduanya menyekutukan Tuhan terlebih dahulu. Syarat yang teramat berat ini mereka tolak.”Kalau begitu membunuh saja” rayu si jelita. Dan syarat inipun ditampiknya.

”Dengan seteguk minuman keras, diriku akan kuserahkan padamu masing-masing,”ucap Si jelita lagi. Untuk ini Harut dan Marut setuju, Tetapi begitu menenggak minuman tersebut, mereka kemudian mabuk dan tidak kuasa menahan dirinya. Saat itulah mereka membunuh, menyekutukan Tuhan, bahkan rahasia langitpun mereka ungkap, sehingga Sang Pelacur berubah menjadi planet Mars yang telah kita kenal itu.

Inilah rangkuman mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa Harut dan Marut, dua nama yang disebut dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102.

Bagi sebagian cendekiawan muslim kontemporer, mitos di atas akan difahami sebagai simbol kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Kelompok yang berada di ”luar” pemerintahan akan selalu menilai pemerintah dalam kegagalan dan kekurangan. Sebaliknya, orang yang berada di ”luar” pemerintahan menganggap dirinya bersih, mampu serta sukses jika menjalankan tugas perintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataanya bila yang di ”luar” masuk ke”dalam”, walaupun kelompok luar itu mempunyai pilihan yang terbaik. Dalam kenyataamya, mereka tidak lebih bersih (kalau enggan untuk mengatakan tidak kurang kotor dari yang mereka gugat).

Memang pada mulanya mereka mempunyai idealisme tetapi sebentar saja mereka tergelincir, sebagai mana Harut dan Marut. Hanya awalnya pun yang ”dijual ” hanyalah yang keci-kecil, imbalannya pun hanya ”seteguk minuman keras”, tetapi tanpa disadari semua pun dapat terjual dengan sia-sia.

Seorang cendekiawan muslim asal Mesir, Prof. Dr. Zaki Mahmud, melihat makna lain dari mitos tersebut, katanya, ”Malaikat yang merupakan makhluk yang berfikir, tapi tidak mempunyai jasmani,” dalam mitos ini adalah ilmuan, sedangkan ”bumi” yang dimaksud sebagai mitos adalah ”kehidupan praktis khususnya di badang politik”. Di sini Prof. Dr. Zaki Mahmud bertanya, sebagaimana sering kita pertanyakan,”wajarkah pemikir atau pemikir terlibat langsung dalam politik praktis? Berhasilkah mereka jika memegang tumpuk pemerintahan? Tidak! itulah makna mitos di atas. Bukankah Malaikat yang memerankan ”pemikir” gagal dalam tugas yang diembannya?!.

Perlu digaris bawahi ini bukan jawaban Al-Quran, ini hanya pemahaman manusia tentang makna sebuah mitos atau riwayat yang nama pelakunya saja tercantum di dalam Al-Quran. Karenanya, boleh juga mendukung pendapatnya Plato dalam bukunya Republik,”Para pemikir atau filosofslah yang paling tepat dan mampu untuk tugas kenegaraan,” ini tentu bisa kita terima dengan catatan mereka tidak tergiur rayuan planet Mars yang gemerlap itu, baik ketika muncul sebagai wanita, harta, ataupun popularitas. Kira-kira begitu.

Wallahu A’lam.