Selasa, 31 Mei 2011

LEBIH BAIK KITA JADI ORANG KAFIR


Pernah suatu ketika saya silaturahmi ke rumah teman karib -sebut saja Ismail-, karena sudah hampir 5 tahun ga’ pernah ketemu. Meski selama itu, tidak lantas komunikasi kami putus begitu saja, karena dunia ini telah memanjakan penghuninya dengan memfasilitasi teknologi yang dirancang lewat bantuan intelektual mereka, handphone atau situs jaringan sosoial yang ada di dunia maya inilah yang membuat hubungan kami masih tetep langgeng. Untuk mengisi liburan 1 minggu, kuputuskan menghabiskan waktu itu penuh dirumahnya. Kebiasaan yang tak pernah sirna ketika kami lagi kumpul yaitu ngobrol, tapi obrolan kali ini kami manfaatkan dengan tukar pikiran. Di sela-sela menikmati isapan rokok produk kota kretek (Kudus) plus sruputan kopi lokal, tiba-tiba saya disodori pertanyaan terkait situasi dan kondisi Indonesia yang carut marut, ia merasa pesimis jika Indonesia akan menuai perbaikan kelak.

Bagaimana cara agar Tuhan menghentikan kemarahannya?, coba lihat! tsunami meratakan bangunan-bangunan kokoh, mata pencaharian spontan sirna, tidak sedikit dari mereka berganti status mulai dari janda, duda, sampai anak-anak kecil dengan terpaksa berstempel yatim, piatu, bahkan yatim piatu. Belum lagi gempa bumi yang tak kenal sasaran, memporakporandakan tempat kerja, tempat ibadah tidak bisa lagi difungsikan selayaknya. Ditambah gunung sebagai tiang bumi memuntahkan isi perutnya. Didukung banjir yang tidak khawatir kehausan menyapu sawah siap panen, merongrong pondasi yang menghasilkan tanah longsor, dan masih banyak lagi tragedi yang luput masuk list dan masih mengantri. 
 
Begitulah temanku dengan panjang kali lebar mendeskripsikan. Tertegun saya mendengar uraiannya, pikiranku dibuat mati kaku. Tanpa merasa dosa saya mencoba menawarkan solusi yang pasti (pikirku) akan membuat orang-orang marah besar, tak terkecuali temanku. 
 
Bagaimana kalau seluruh penduduk Indonesia ini menjadi kafir saja?-solusi dalam bentuk pertanyaan- Sudah saja tebak sebelumya, ia akan naik pitam, tapi derajat celcius amarahnya turun drastis setelah saya teruskan dengan perumpamaan. “Andai sampeyan punya anak perempuan dinikahi seseorang, tapi dalam perjalanan mengarungi bahtera kehidupannya, suaminya tidak menafkahi baik lahir maupun bathin, tidak memperdulikan, acuh, abai, bahkan sering main tangan, atau anda memilih untuk tidak menikahkannya sampai tua, tapi ia hidup dalam kenyamanan?” lanjutku. 
“mending saya milih opsi yang kedua saja(tidak menikahkan)”jawab temanku dengan mantap. 
“Begitulah sikap Tuhan, mending juga kita jadi kafir, menghasilkan 1 dosa saja, daripada mengaku Islam, tapi mempermainkan Tuhan, menantang-Nya, dengan mengabaikan prinsip-prinsip syariat, tidak mengindahkan perintah-Nya, dengan bangga memamerkan maksiat di depan-Nya alias MUNAFIK di hadapan-Nya”. Timpalku.

Em Qi Full, dalam refleksi hari Waisak
Friday, 28 May 2010
09.00-11.00 AM.

Tidak ada komentar: