Senin, 20 Juni 2011

***Introgasi-Keluhan Polisi***

Selepas menempuh perjalanan hampir setengah hari, stasiun “Solo Jebres” menjadi akhir dari “rayapan” sang kendaraan merayap dengan strat Malang, yach…sudah menjadi pilihan dari orang-orang yang bersaku “kanker”, disamping murahnya meriah, dimeriahkan oleh rancak pengamen jalanan dengan “backing vocal” penjual asongan yang setia bolak-balik bak setrika, menjajakkan jajanan dan “minuman surga”nya, “Yang penting laku”, prinsip mereka. Target lokasi pun masih membutuhkan tunggangan roda enam, empat, dan dipungkasi dengan roda dua alias ngojek, Hemm…demi misi “suci” seorang teman yang disertai rasa penasaran dengan final “Harapan sukses” (Waouw….nguerrii rek), medanpun menyerupai “arena balap” Batu, Pujon, Kasembon (Malang), hanya beda cuaca, puanaaas dan duuiingiinnya.

“Tangan” takdir menuntun kami untuk menikmati fasilitas bermalam di masjid Polres Solo Jebres, sebelum melanjutkan ke lokasi tujuan. Introgasipun tak luput dari emban polisi untuk mengorek mulai identitas sampai tujuan kedatangan kami di kota itu, maklum, lagi rame-ramenya kantor polisi plus penghuninya dijadikan sasaran empuk bagi para “pengaku jihad” pasca tragedi Cirebon. Diri sempat bergumam; apakah pemikiranku mirip Abu Baka Ba’asyir, apakah tampangku menyerupai Oesama bin Laden, atau sikap, aksi, prilakuku meniru Habib Rieziq? Entahlah!!

3 jam cukup menjenuhkanku memandang wajah-wajah para “penegak hukum(?)” dengan memasang tampang garang, tapi kupaksakan diri menempelkan “aura kasih” pada rautku yang gerah penuh peluh. Beberapa pertanyaan yang diajukan dijawab temanku dengan pernyataan, hatta introgasi berubah menjadi obrolan ringan dengan tajuk “Pemahaman Islam Ke-Indonesia-an” dan kali inipun kupaksakan diri meladeni “tuan rumah”. Alhasil, salah satu polisi mengeluh kesah terhadap aliran (pemahaman) ataupun pergerakan Islam “transferan” yang bernuansa radikal-ekstrim. “Saya nggak trima, kalau polisi dibilang Thoghut”, berkali-kali ucapan ini keluar dari sela-sela kumis tebalnya disertai nada penuh emosi nan kesal.

Sejenak berfikir tentang kondisi kepolisian sampai saat ini, bagaimanapun juga ia masih mendapatkan "raport merah" oleh publik, terkatung-katung posisinya, tingkat “keimanan” kepadanya pun sangat tipis, mulai kasus internal pun problem eksternal. Terus, kemana lagi para pengadu mencari suaka skaligus "terobati" curhatnya!

Dari sinilah perlu ada komunikasi semua elemen untuk membahas satu tema dengan titik pemahaman masing-masing, sehingga "diharapkan" akan memunculkan formulasi tidak sepihak yang menguntungkan pribadi skaligus mendiskriditkan pihak lain, karena awal dari “terbit”nya toleransi dan menerima dengan kritis banyak faham, bermula dari keberagaman “Tafsir” dari masing-masing pihak yang digodhok melalui forum “Memahami Orang Lain”.

Jadi, PAHAMI maksud mereka, jika ada harapan DIPAHAMI mereka jua!!
Wallohu a’lam bi al-showab.

Malang, 4:09 PM, 18 Juni '11

Selasa, 31 Mei 2011

LEBIH BAIK KITA JADI ORANG KAFIR


Pernah suatu ketika saya silaturahmi ke rumah teman karib -sebut saja Ismail-, karena sudah hampir 5 tahun ga’ pernah ketemu. Meski selama itu, tidak lantas komunikasi kami putus begitu saja, karena dunia ini telah memanjakan penghuninya dengan memfasilitasi teknologi yang dirancang lewat bantuan intelektual mereka, handphone atau situs jaringan sosoial yang ada di dunia maya inilah yang membuat hubungan kami masih tetep langgeng. Untuk mengisi liburan 1 minggu, kuputuskan menghabiskan waktu itu penuh dirumahnya. Kebiasaan yang tak pernah sirna ketika kami lagi kumpul yaitu ngobrol, tapi obrolan kali ini kami manfaatkan dengan tukar pikiran. Di sela-sela menikmati isapan rokok produk kota kretek (Kudus) plus sruputan kopi lokal, tiba-tiba saya disodori pertanyaan terkait situasi dan kondisi Indonesia yang carut marut, ia merasa pesimis jika Indonesia akan menuai perbaikan kelak.

Bagaimana cara agar Tuhan menghentikan kemarahannya?, coba lihat! tsunami meratakan bangunan-bangunan kokoh, mata pencaharian spontan sirna, tidak sedikit dari mereka berganti status mulai dari janda, duda, sampai anak-anak kecil dengan terpaksa berstempel yatim, piatu, bahkan yatim piatu. Belum lagi gempa bumi yang tak kenal sasaran, memporakporandakan tempat kerja, tempat ibadah tidak bisa lagi difungsikan selayaknya. Ditambah gunung sebagai tiang bumi memuntahkan isi perutnya. Didukung banjir yang tidak khawatir kehausan menyapu sawah siap panen, merongrong pondasi yang menghasilkan tanah longsor, dan masih banyak lagi tragedi yang luput masuk list dan masih mengantri. 
 
Begitulah temanku dengan panjang kali lebar mendeskripsikan. Tertegun saya mendengar uraiannya, pikiranku dibuat mati kaku. Tanpa merasa dosa saya mencoba menawarkan solusi yang pasti (pikirku) akan membuat orang-orang marah besar, tak terkecuali temanku. 
 
Bagaimana kalau seluruh penduduk Indonesia ini menjadi kafir saja?-solusi dalam bentuk pertanyaan- Sudah saja tebak sebelumya, ia akan naik pitam, tapi derajat celcius amarahnya turun drastis setelah saya teruskan dengan perumpamaan. “Andai sampeyan punya anak perempuan dinikahi seseorang, tapi dalam perjalanan mengarungi bahtera kehidupannya, suaminya tidak menafkahi baik lahir maupun bathin, tidak memperdulikan, acuh, abai, bahkan sering main tangan, atau anda memilih untuk tidak menikahkannya sampai tua, tapi ia hidup dalam kenyamanan?” lanjutku. 
“mending saya milih opsi yang kedua saja(tidak menikahkan)”jawab temanku dengan mantap. 
“Begitulah sikap Tuhan, mending juga kita jadi kafir, menghasilkan 1 dosa saja, daripada mengaku Islam, tapi mempermainkan Tuhan, menantang-Nya, dengan mengabaikan prinsip-prinsip syariat, tidak mengindahkan perintah-Nya, dengan bangga memamerkan maksiat di depan-Nya alias MUNAFIK di hadapan-Nya”. Timpalku.

Em Qi Full, dalam refleksi hari Waisak
Friday, 28 May 2010
09.00-11.00 AM.

**BEKALI DENGAN ISTIGHFAR**

Sudah sering telinga kita dengan sadar atau tidak, mendengar  tausyiyah dari para ulama, kiyai ataupun ustadz yang dengan semangat juang dan tanpa lelah selalu memperingatkan untuk berhati-hati memberikan atau mengkonsumsi makanan apapun yang mempunyai unsur-unsur tidak jelas sumbernya, entah kepada diri pribadi atau orang lain.

Hitunglah “butiran-butiran” yang ada di tempat makan, jangan sampai ada satu anasir syubhat lebih-lebih haram mencampuri makanan masuk melalui mulut menuju perut kemudian diproses oleh usus, lalu menyebar keseluruh tubuh melalui darah menuju jantung, sehingga akan menentukan denyutnya, mempengaruhi kerjanya urat syaraf, sampai menyuplai ke otak kiri maupun otak kanan dan ke tempat lain sebagainya.

Jadi, kalaupun ada satu saja unsur haram yang kita makan, maka ia akan menciptakan madlorot-madlorot secara akumulatif yang tidak bisa dihitung oleh ilmu manusia.

Memang…untuk menuruti bagaimana kita bisa makan makanan yang benar-benar terbebas dari muatan haram atau tidak jelas, merupakan kesulitan tersendiri.

Mungkin, sebab itulah Allah mempunyai sifat Pengampun, karena ilmu manusia tidak bisa mendeteksi sampai detail, dengan kata lain, kita hanya mampu mengidentifikasi lahiriyah dari komoditi yang ber"lebel" halal dan tidak tahu skaligus tak kuasa mengejar lebih lanjut asal muasal dari mana makanan berasal. Bisa jadi, makanan itu diperoleh orang lain dengan cara mencuri ataupun sejenisnya. Meskipun secara fisik jelas-jelas halal, tapi kemungkinan ada dimensi lain di balik fisik tersebut.

Di atas hanya satu contoh kasuistik yang seringkali terabaikan dan terlupakan untuk ditata dan diingatkan..'
kita menganggapnya hal biasa yang tidak butuh direspon atau bagaimana? Bagaimana dengan engkau, ia, dan kalian?

Jangan khawatir !!!!! semua itu ada eliminatornya dan netralisatornya dan untuk mendapatkan itu semua harus membiasakan diri untuk selalu memohon ampunan; Astaghfirulloh Robbalbaroya Astaghfirulloh minal khothoya..

MARI BUDAYAKAN ISTIGHFAR BIL LISAN AW FIL QOLB !!!


Malang, 23.37 WIB
Freday, January 28, 2011

**PROTES MALAIKAT**

Dua kali Malaikat pernah “memprotes” Tuhan. Pertama, ketika Allah menyampaikan maksud-Nya menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Malaikat merasa dirinya lebih wajar dari pada manusia, tetapi pilihan Tuhan dibuktikan kebenaranya melalui ujian lisan. Ternyata, Malaikat gagal dan Manusia lulus, bahkan berhasil mengajar Malaikat (lihat QS 2:30).

Setelah sekian lama Manusia mengelola bumi, ”protes” kedua muncul,”Terlalu banyak dosa Manusia dan lingkungannya pun di rusaknya,” keluh Malaikat. Mereka kini merasa lebih bersih dan mampu dari pada Manusia yang menjadi khalifah di bumi. Untuk kali ini, ujian dilakukan lagi, tetapi dalam bentuk praktik. Para ”pemrotes” dipersilahkan memilih wakil mereka untuk menggantikan Manusia, Dan terpilihlah dua ”orang” Malaikat, yaitu Harut dan Marut.

Di bumi mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan bersedia ”melayani” Sang Malaikat dengan syarat keduanya menyekutukan Tuhan terlebih dahulu. Syarat yang teramat berat ini mereka tolak.”Kalau begitu membunuh saja” rayu si jelita. Dan syarat inipun ditampiknya.

”Dengan seteguk minuman keras, diriku akan kuserahkan padamu masing-masing,”ucap Si jelita lagi. Untuk ini Harut dan Marut setuju, Tetapi begitu menenggak minuman tersebut, mereka kemudian mabuk dan tidak kuasa menahan dirinya. Saat itulah mereka membunuh, menyekutukan Tuhan, bahkan rahasia langitpun mereka ungkap, sehingga Sang Pelacur berubah menjadi planet Mars yang telah kita kenal itu.

Inilah rangkuman mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa Harut dan Marut, dua nama yang disebut dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102.

Bagi sebagian cendekiawan muslim kontemporer, mitos di atas akan difahami sebagai simbol kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Kelompok yang berada di ”luar” pemerintahan akan selalu menilai pemerintah dalam kegagalan dan kekurangan. Sebaliknya, orang yang berada di ”luar” pemerintahan menganggap dirinya bersih, mampu serta sukses jika menjalankan tugas perintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataanya bila yang di ”luar” masuk ke”dalam”, walaupun kelompok luar itu mempunyai pilihan yang terbaik. Dalam kenyataamya, mereka tidak lebih bersih (kalau enggan untuk mengatakan tidak kurang kotor dari yang mereka gugat).

Memang pada mulanya mereka mempunyai idealisme tetapi sebentar saja mereka tergelincir, sebagai mana Harut dan Marut. Hanya awalnya pun yang ”dijual ” hanyalah yang keci-kecil, imbalannya pun hanya ”seteguk minuman keras”, tetapi tanpa disadari semua pun dapat terjual dengan sia-sia.

Seorang cendekiawan muslim asal Mesir, Prof. Dr. Zaki Mahmud, melihat makna lain dari mitos tersebut, katanya, ”Malaikat yang merupakan makhluk yang berfikir, tapi tidak mempunyai jasmani,” dalam mitos ini adalah ilmuan, sedangkan ”bumi” yang dimaksud sebagai mitos adalah ”kehidupan praktis khususnya di badang politik”. Di sini Prof. Dr. Zaki Mahmud bertanya, sebagaimana sering kita pertanyakan,”wajarkah pemikir atau pemikir terlibat langsung dalam politik praktis? Berhasilkah mereka jika memegang tumpuk pemerintahan? Tidak! itulah makna mitos di atas. Bukankah Malaikat yang memerankan ”pemikir” gagal dalam tugas yang diembannya?!.

Perlu digaris bawahi ini bukan jawaban Al-Quran, ini hanya pemahaman manusia tentang makna sebuah mitos atau riwayat yang nama pelakunya saja tercantum di dalam Al-Quran. Karenanya, boleh juga mendukung pendapatnya Plato dalam bukunya Republik,”Para pemikir atau filosofslah yang paling tepat dan mampu untuk tugas kenegaraan,” ini tentu bisa kita terima dengan catatan mereka tidak tergiur rayuan planet Mars yang gemerlap itu, baik ketika muncul sebagai wanita, harta, ataupun popularitas. Kira-kira begitu.

Wallahu A’lam.

***KEJUJURAN INTLEKTUAL - ILMIAH***

Ada beberapa ayat dalam Al-Quran dan sabda-sabda Nabi yang menunjukkan mengenai sikap ilmiah yang sangat begitu diperhatikan oleh para ulama maupun cendekiawan terdahulu, lebih-lebih yang menyandang status Islam, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah tradisi keilmuan mereka. Salah satu di antaranya adalah kejujuran ilmiah.

Kejujuran ilmiah mencetuskan beberapa pernyataan diantaranya sebuah pernyataan ”Allahu a’lam” (Allah maha mengetahui segalanya) setiap merampungkan suatu karya ilmiah. Dan mengatakan ”saya tidak tahu” disaat beliau-beliau disodorkan pertanyaan yang memang mereka tidak mengetahui secara persis jawbannya. Bahkan, bisa jadi, tidak memberi jawaban –meskipun mereka tahu jawabannya-jika diantara yg hadir, ada orang yg lebih mumpuni dalam kapasitas dan kapabilits keintlektualanya.

Al-Quran memposisikan ungkapan ”aku (kami) tidak tahu”  sebagai jawaban yang harus di ucapkan oleh seorang yang tidak tahu jawabannya. Bahkan, Pakar, Nabi, Rasul, Malaikat yang notabene dekat dengan Tuhan sekalipun.

Ada tiga jawaban yang akan dilontarkan seseorang terkait ketidaktahuannya dalam menjawab pertanyaan. Pertama, menjawab dengan membohongi dirinya skaligus si penanya. Kedua, ia akan berusaha meyakinkan dirinya dan si penanya dgn jawaban yang ga’ pasti berdasarkan asumsi yg lemah. Karena, dugaan tidak memberi efek sedikitpun terhadap kebenaran (QS 53:28). Ketiga, bersikap ksatria berani jujur untuk mengungkapkan ”saya tidak tahu.”Jawaban kayak inilah yg dilontarkan oleh Baginda Rasul Muhammad SAW, Ketika beliau tidak mengetahui duduk perkaranya. Nabi bahkan bersabda:”BUKTI PENGETAHUAN SESEORANG ADALAH MENJAWAB (DGN JAWABAN) TIDAK TAHU"

Tidak jarang dalam goresan2 pena emas para Ulama’ terdahulu menanamkan sikap seperti itu. Bahkan empatpuluh pertanyaan yang diajukan kepada ulama besar sekaliber Imam Malik, dijawab semua, dengan tiga puluh enam di antaranya di jawab ”tidak tahu.” Biasa diketemukan juga litelatur-litelatur clasic (turats) para pendahulu, didalamnya tersurat pesan kepada pembaca; Kalian kuperkenankan untuk menyalin kandungan isi yg termuat didalam kitab ini serta menyatakan ”tidak tahu” bila anda memang tidak mengetahuinya.

Janganlah terbersit sedikitpun untuk tidak mengatakan "Wallohu a'lam" dalam segala hal !!!! Dan Coba kita bandingkan tradisi dalam fenomena di atas dengan keadaan sekarang ini!!!!!

Wallohu a'lam bishshowab wa ilihil marji'


Malang, 24 Feb 2011