Pernah suatu ketika saya silaturahmi ke rumah teman karib -sebut saja Ismail-, karena sudah hampir 5 tahun ga’ pernah ketemu. Meski selama itu, tidak lantas komunikasi kami putus begitu saja, karena dunia ini telah memanjakan penghuninya dengan memfasilitasi teknologi yang dirancang lewat bantuan intelektual mereka, handphone atau situs jaringan sosoial yang ada di dunia maya inilah yang membuat hubungan kami masih tetep langgeng. Untuk mengisi liburan 1 minggu, kuputuskan menghabiskan waktu itu penuh dirumahnya. Kebiasaan yang tak pernah sirna ketika kami lagi kumpul yaitu ngobrol, tapi obrolan kali ini kami manfaatkan dengan tukar pikiran. Di sela-sela menikmati isapan rokok produk kota kretek (Kudus) plus sruputan kopi lokal, tiba-tiba saya disodori pertanyaan terkait situasi dan kondisi Indonesia yang carut marut, ia merasa pesimis jika Indonesia akan menuai perbaikan kelak.
Bagaimana cara agar Tuhan menghentikan kemarahannya?, coba lihat! tsunami meratakan bangunan-bangunan kokoh, mata pencaharian spontan sirna, tidak sedikit dari mereka berganti status mulai dari janda, duda, sampai anak-anak kecil dengan terpaksa berstempel yatim, piatu, bahkan yatim piatu. Belum lagi gempa bumi yang tak kenal sasaran, memporakporandakan tempat kerja, tempat ibadah tidak bisa lagi difungsikan selayaknya. Ditambah gunung sebagai tiang bumi memuntahkan isi perutnya. Didukung banjir yang tidak khawatir kehausan menyapu sawah siap panen, merongrong pondasi yang menghasilkan tanah longsor, dan masih banyak lagi tragedi yang luput masuk list dan masih mengantri.
Begitulah temanku dengan panjang kali lebar mendeskripsikan. Tertegun saya mendengar uraiannya, pikiranku dibuat mati kaku. Tanpa merasa dosa saya mencoba menawarkan solusi yang pasti (pikirku) akan membuat orang-orang marah besar, tak terkecuali temanku.
Bagaimana kalau seluruh penduduk Indonesia ini menjadi kafir saja?-solusi dalam bentuk pertanyaan- Sudah saja tebak sebelumya, ia akan naik pitam, tapi derajat celcius amarahnya turun drastis setelah saya teruskan dengan perumpamaan. “Andai sampeyan punya anak perempuan dinikahi seseorang, tapi dalam perjalanan mengarungi bahtera kehidupannya, suaminya tidak menafkahi baik lahir maupun bathin, tidak memperdulikan, acuh, abai, bahkan sering main tangan, atau anda memilih untuk tidak menikahkannya sampai tua, tapi ia hidup dalam kenyamanan?” lanjutku.
“mending saya milih opsi yang kedua saja(tidak menikahkan)”jawab temanku dengan mantap.
“Begitulah sikap Tuhan, mending juga kita jadi kafir, menghasilkan 1 dosa saja, daripada mengaku Islam, tapi mempermainkan Tuhan, menantang-Nya, dengan mengabaikan prinsip-prinsip syariat, tidak mengindahkan perintah-Nya, dengan bangga memamerkan maksiat di depan-Nya alias MUNAFIK di hadapan-Nya”. Timpalku.
Em Qi Full, dalam refleksi hari Waisak
Friday, 28 May 2010
09.00-11.00 AM.
Em Qi Full, dalam refleksi hari Waisak
Friday, 28 May 2010
09.00-11.00 AM.
Setelah sekian lama Manusia mengelola bumi, ”protes” kedua muncul,”Terlalu banyak dosa Manusia dan lingkungannya pun di rusaknya,” keluh Malaikat. Mereka kini merasa lebih bersih dan mampu dari pada Manusia yang menjadi khalifah di bumi. Untuk kali ini, ujian dilakukan lagi, tetapi dalam bentuk praktik. Para ”pemrotes” dipersilahkan memilih wakil mereka untuk menggantikan Manusia, Dan terpilihlah dua ”orang” Malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Di bumi mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan bersedia ”melayani” Sang Malaikat dengan syarat keduanya menyekutukan Tuhan terlebih dahulu. Syarat yang teramat berat ini mereka tolak.”Kalau begitu membunuh saja” rayu si jelita. Dan syarat inipun ditampiknya.
”Dengan seteguk minuman keras, diriku akan kuserahkan padamu masing-masing,”ucap Si jelita lagi. Untuk ini Harut dan Marut setuju, Tetapi begitu menenggak minuman tersebut, mereka kemudian mabuk dan tidak kuasa menahan dirinya. Saat itulah mereka membunuh, menyekutukan Tuhan, bahkan rahasia langitpun mereka ungkap, sehingga Sang Pelacur berubah menjadi planet Mars yang telah kita kenal itu.
Inilah rangkuman mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa Harut dan Marut, dua nama yang disebut dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102.
Bagi sebagian cendekiawan muslim kontemporer, mitos di atas akan difahami sebagai simbol kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Kelompok yang berada di ”luar” pemerintahan akan selalu menilai pemerintah dalam kegagalan dan kekurangan. Sebaliknya, orang yang berada di ”luar” pemerintahan menganggap dirinya bersih, mampu serta sukses jika menjalankan tugas perintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataanya bila yang di ”luar” masuk ke”dalam”, walaupun kelompok luar itu mempunyai pilihan yang terbaik. Dalam kenyataamya, mereka tidak lebih bersih (kalau enggan untuk mengatakan tidak kurang kotor dari yang mereka gugat).
Memang pada mulanya mereka mempunyai idealisme tetapi sebentar saja mereka tergelincir, sebagai mana Harut dan Marut. Hanya awalnya pun yang ”dijual ” hanyalah yang keci-kecil, imbalannya pun hanya ”seteguk minuman keras”, tetapi tanpa disadari semua pun dapat terjual dengan sia-sia.
Seorang cendekiawan muslim asal Mesir, Prof. Dr. Zaki Mahmud, melihat makna lain dari mitos tersebut, katanya, ”Malaikat yang merupakan makhluk yang berfikir, tapi tidak mempunyai jasmani,” dalam mitos ini adalah ilmuan, sedangkan ”bumi” yang dimaksud sebagai mitos adalah ”kehidupan praktis khususnya di badang politik”. Di sini Prof. Dr. Zaki Mahmud bertanya, sebagaimana sering kita pertanyakan,”wajarkah pemikir atau pemikir terlibat langsung dalam politik praktis? Berhasilkah mereka jika memegang tumpuk pemerintahan? Tidak! itulah makna mitos di atas. Bukankah Malaikat yang memerankan ”pemikir” gagal dalam tugas yang diembannya?!.
Perlu digaris bawahi ini bukan jawaban Al-Quran, ini hanya pemahaman manusia tentang makna sebuah mitos atau riwayat yang nama pelakunya saja tercantum di dalam Al-Quran. Karenanya, boleh juga mendukung pendapatnya Plato dalam bukunya Republik,”Para pemikir atau filosofslah yang paling tepat dan mampu untuk tugas kenegaraan,” ini tentu bisa kita terima dengan catatan mereka tidak tergiur rayuan planet Mars yang gemerlap itu, baik ketika muncul sebagai wanita, harta, ataupun popularitas. Kira-kira begitu.
Wallahu A’lam.