Selepas menempuh perjalanan hampir setengah hari, stasiun “Solo Jebres” menjadi akhir dari “rayapan” sang kendaraan merayap dengan strat Malang, yach…sudah menjadi pilihan dari orang-orang yang bersaku “kanker”, disamping murahnya meriah, dimeriahkan oleh rancak pengamen jalanan dengan “backing vocal” penjual asongan yang setia bolak-balik bak setrika, menjajakkan jajanan dan “minuman surga”nya, “Yang penting laku”, prinsip mereka. Target lokasi pun masih membutuhkan tunggangan roda enam, empat, dan dipungkasi dengan roda dua alias ngojek, Hemm…demi misi “suci” seorang teman yang disertai rasa penasaran dengan final “Harapan sukses” (Waouw….nguerrii rek), medanpun menyerupai “arena balap” Batu, Pujon, Kasembon (Malang), hanya beda cuaca, puanaaas dan duuiingiinnya.
“Tangan” takdir menuntun kami untuk menikmati fasilitas bermalam di masjid Polres Solo Jebres, sebelum melanjutkan ke lokasi tujuan. Introgasipun tak luput dari emban polisi untuk mengorek mulai identitas sampai tujuan kedatangan kami di kota itu, maklum, lagi rame-ramenya kantor polisi plus penghuninya dijadikan sasaran empuk bagi para “pengaku jihad” pasca tragedi Cirebon. Diri sempat bergumam; apakah pemikiranku mirip Abu Baka Ba’asyir, apakah tampangku menyerupai Oesama bin Laden, atau sikap, aksi, prilakuku meniru Habib Rieziq? Entahlah!!
3 jam cukup menjenuhkanku memandang wajah-wajah para “penegak hukum(?)” dengan memasang tampang garang, tapi kupaksakan diri menempelkan “aura kasih” pada rautku yang gerah penuh peluh. Beberapa pertanyaan yang diajukan dijawab temanku dengan pernyataan, hatta introgasi berubah menjadi obrolan ringan dengan tajuk “Pemahaman Islam Ke-Indonesia-an” dan kali inipun kupaksakan diri meladeni “tuan rumah”. Alhasil, salah satu polisi mengeluh kesah terhadap aliran (pemahaman) ataupun pergerakan Islam “transferan” yang bernuansa radikal-ekstrim. “Saya nggak trima, kalau polisi dibilang Thoghut”, berkali-kali ucapan ini keluar dari sela-sela kumis tebalnya disertai nada penuh emosi nan kesal.
Sejenak berfikir tentang kondisi kepolisian sampai saat ini, bagaimanapun juga ia masih mendapatkan "raport merah" oleh publik, terkatung-katung posisinya, tingkat “keimanan” kepadanya pun sangat tipis, mulai kasus internal pun problem eksternal. Terus, kemana lagi para pengadu mencari suaka skaligus "terobati" curhatnya!
Dari sinilah perlu ada komunikasi semua elemen untuk membahas satu tema dengan titik pemahaman masing-masing, sehingga "diharapkan" akan memunculkan formulasi tidak sepihak yang menguntungkan pribadi skaligus mendiskriditkan pihak lain, karena awal dari “terbit”nya toleransi dan menerima dengan kritis banyak faham, bermula dari keberagaman “Tafsir” dari masing-masing pihak yang digodhok melalui forum “Memahami Orang Lain”.
Jadi, PAHAMI maksud mereka, jika ada harapan DIPAHAMI mereka jua!!
Wallohu a’lam bi al-showab.
Malang, 4:09 PM, 18 Juni '11
“Tangan” takdir menuntun kami untuk menikmati fasilitas bermalam di masjid Polres Solo Jebres, sebelum melanjutkan ke lokasi tujuan. Introgasipun tak luput dari emban polisi untuk mengorek mulai identitas sampai tujuan kedatangan kami di kota itu, maklum, lagi rame-ramenya kantor polisi plus penghuninya dijadikan sasaran empuk bagi para “pengaku jihad” pasca tragedi Cirebon. Diri sempat bergumam; apakah pemikiranku mirip Abu Baka Ba’asyir, apakah tampangku menyerupai Oesama bin Laden, atau sikap, aksi, prilakuku meniru Habib Rieziq? Entahlah!!
3 jam cukup menjenuhkanku memandang wajah-wajah para “penegak hukum(?)” dengan memasang tampang garang, tapi kupaksakan diri menempelkan “aura kasih” pada rautku yang gerah penuh peluh. Beberapa pertanyaan yang diajukan dijawab temanku dengan pernyataan, hatta introgasi berubah menjadi obrolan ringan dengan tajuk “Pemahaman Islam Ke-Indonesia-an” dan kali inipun kupaksakan diri meladeni “tuan rumah”. Alhasil, salah satu polisi mengeluh kesah terhadap aliran (pemahaman) ataupun pergerakan Islam “transferan” yang bernuansa radikal-ekstrim. “Saya nggak trima, kalau polisi dibilang Thoghut”, berkali-kali ucapan ini keluar dari sela-sela kumis tebalnya disertai nada penuh emosi nan kesal.
Sejenak berfikir tentang kondisi kepolisian sampai saat ini, bagaimanapun juga ia masih mendapatkan "raport merah" oleh publik, terkatung-katung posisinya, tingkat “keimanan” kepadanya pun sangat tipis, mulai kasus internal pun problem eksternal. Terus, kemana lagi para pengadu mencari suaka skaligus "terobati" curhatnya!
Dari sinilah perlu ada komunikasi semua elemen untuk membahas satu tema dengan titik pemahaman masing-masing, sehingga "diharapkan" akan memunculkan formulasi tidak sepihak yang menguntungkan pribadi skaligus mendiskriditkan pihak lain, karena awal dari “terbit”nya toleransi dan menerima dengan kritis banyak faham, bermula dari keberagaman “Tafsir” dari masing-masing pihak yang digodhok melalui forum “Memahami Orang Lain”.
Jadi, PAHAMI maksud mereka, jika ada harapan DIPAHAMI mereka jua!!
Wallohu a’lam bi al-showab.
Malang, 4:09 PM, 18 Juni '11
Setelah sekian lama Manusia mengelola bumi, ”protes” kedua muncul,”Terlalu banyak dosa Manusia dan lingkungannya pun di rusaknya,” keluh Malaikat. Mereka kini merasa lebih bersih dan mampu dari pada Manusia yang menjadi khalifah di bumi. Untuk kali ini, ujian dilakukan lagi, tetapi dalam bentuk praktik. Para ”pemrotes” dipersilahkan memilih wakil mereka untuk menggantikan Manusia, Dan terpilihlah dua ”orang” Malaikat, yaitu Harut dan Marut.
Di bumi mereka bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan bersedia ”melayani” Sang Malaikat dengan syarat keduanya menyekutukan Tuhan terlebih dahulu. Syarat yang teramat berat ini mereka tolak.”Kalau begitu membunuh saja” rayu si jelita. Dan syarat inipun ditampiknya.
”Dengan seteguk minuman keras, diriku akan kuserahkan padamu masing-masing,”ucap Si jelita lagi. Untuk ini Harut dan Marut setuju, Tetapi begitu menenggak minuman tersebut, mereka kemudian mabuk dan tidak kuasa menahan dirinya. Saat itulah mereka membunuh, menyekutukan Tuhan, bahkan rahasia langitpun mereka ungkap, sehingga Sang Pelacur berubah menjadi planet Mars yang telah kita kenal itu.
Inilah rangkuman mitos Arab kuno serta berbagai riwayat yang ditemukan dalam beberapa tafsir yang menjelaskan siapa Harut dan Marut, dua nama yang disebut dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 102.
Bagi sebagian cendekiawan muslim kontemporer, mitos di atas akan difahami sebagai simbol kehidupan berpolitik masyarakat manusia. Kelompok yang berada di ”luar” pemerintahan akan selalu menilai pemerintah dalam kegagalan dan kekurangan. Sebaliknya, orang yang berada di ”luar” pemerintahan menganggap dirinya bersih, mampu serta sukses jika menjalankan tugas perintahan. Tetapi, tidak demikian itu kenyataanya bila yang di ”luar” masuk ke”dalam”, walaupun kelompok luar itu mempunyai pilihan yang terbaik. Dalam kenyataamya, mereka tidak lebih bersih (kalau enggan untuk mengatakan tidak kurang kotor dari yang mereka gugat).
Memang pada mulanya mereka mempunyai idealisme tetapi sebentar saja mereka tergelincir, sebagai mana Harut dan Marut. Hanya awalnya pun yang ”dijual ” hanyalah yang keci-kecil, imbalannya pun hanya ”seteguk minuman keras”, tetapi tanpa disadari semua pun dapat terjual dengan sia-sia.
Seorang cendekiawan muslim asal Mesir, Prof. Dr. Zaki Mahmud, melihat makna lain dari mitos tersebut, katanya, ”Malaikat yang merupakan makhluk yang berfikir, tapi tidak mempunyai jasmani,” dalam mitos ini adalah ilmuan, sedangkan ”bumi” yang dimaksud sebagai mitos adalah ”kehidupan praktis khususnya di badang politik”. Di sini Prof. Dr. Zaki Mahmud bertanya, sebagaimana sering kita pertanyakan,”wajarkah pemikir atau pemikir terlibat langsung dalam politik praktis? Berhasilkah mereka jika memegang tumpuk pemerintahan? Tidak! itulah makna mitos di atas. Bukankah Malaikat yang memerankan ”pemikir” gagal dalam tugas yang diembannya?!.
Perlu digaris bawahi ini bukan jawaban Al-Quran, ini hanya pemahaman manusia tentang makna sebuah mitos atau riwayat yang nama pelakunya saja tercantum di dalam Al-Quran. Karenanya, boleh juga mendukung pendapatnya Plato dalam bukunya Republik,”Para pemikir atau filosofslah yang paling tepat dan mampu untuk tugas kenegaraan,” ini tentu bisa kita terima dengan catatan mereka tidak tergiur rayuan planet Mars yang gemerlap itu, baik ketika muncul sebagai wanita, harta, ataupun popularitas. Kira-kira begitu.
Wallahu A’lam.